RSS

Monday, October 28, 2013

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender



I.  PENDAHULUAN
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Dalam konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut  dapat terjadi di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6%(pelaku: tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya).
Dari gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentu kekerasan dalam rumah tangga sangat mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah  orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.
            Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorang  korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan saja  pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRT dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum.
Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk untuk penanganan korban, karena memang tidak/ belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak.
            Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis hsama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban  menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga.
            Namun kemudian bangsa Indonesia patut merasa bersyukur, karena akhirnya pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Dengan demikian, hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan  secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah  dijamin perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejalan dengan langkah tersebut, maka penulisan ini dimaksudkan dalam rangka  menyampaikan sekilas gambaran mengenai pelaksanaan UU-PKDRT  dan seberapa jauh efektifitasnya. Adapun metodologi dalam penulisan ini didasarkan pada pencermatan atas pengaturan dalam beberapa ketentuan UU-PKDRT dikaitkan dengan hasil penelitian di lapangan.
II.      KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MERUPAKAN BENTUK   KEKERASAN BERBASIS GENDER.
Menengok sejarah mengapa para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan lahirnya UU-PKDRT. Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi Indonesia  telah secara tegas dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, namun kejadian-kejadian KDRT dengan berbagai modus operandinya, sudah sangat memerlukan pengaturan yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan dalam rumah tangga.
Amanat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam:
”Pasal 28A menentukan bahwa:”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhakmempertahankan hidup dan kehidupannya”; Pasal 28B ayat (1) berbunyi: ”Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”; Ayat (2) Pasal 28B menentukan bahwa: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”; dan Pasal 28G ayat(1) bahwa: ”Setiap orang bebas atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya”.
 Terlebih lagi bahwa Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women/ CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi tersebut, pada dasarnya mewajibkan kepada setiap negara pihak untuk melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki.
CEDAW telah memberikan arti ’diskriminasi’ secara komprehensif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 CEDAW bahwa
”Dalam Konvensi ini istilah ”diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau  pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan hak laki-laki dan perempuan.” 
Unsur-unsur yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi” tersebut meliputi:
  1. Ideologi, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan;
  2. Tindakan, pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
  3. Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung;
  4. Akibat;
  5. Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak dan  kebebasan,
  6. Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,) dan oleh setiap pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian diskriminasi tersebut sangat jelas digambarkan adanya pembedaan perlakuan berupa pengucilan atau pembatasan terhadap perempuan (atas dasar jenis kelamin) yang mempunyai ‘pengaruh’ atau  ‘tujuan’ untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya.
Dalam perjalanannya, pengertian diskriminasi  sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 CEDAW mengalami perkembangan yang cukup positif,  hal mana bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan juga menjadi cakupan dalam pengertian  diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana ditetapkan Komite CEDAW dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 (Sidang ke-11, Tahun 1992) tentang Kekerasan terhadap Perempuan (Violence Against Women), diantaranya mengemukakan mengenai bentuk-bentuk diskriminasi yang menghalangi kaum perempuan dalam mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Butir 1 dari latar belakang Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, menyatakan bahwa: “Kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki”.
Selanjutnya,  Butir ke-6 Ulasan Umum Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan juga menegaskan bahwa  :

“Konvensi dalam Pasal 1, menetapkan definisi tentang diskriminasi terhadap perempuan. Definisi diskriminasi itu termasuk juga kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan kepada seorang perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau ancaman-ancaman seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan tertentu dari Konvensi, walaupun ketentuan itu tidak secara spesifik tentang kekerasan”.
           
Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi CEDAW, maka dalam rangka melakukan pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan-kebijakan pelaksanaannya, Indonesia terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan perundang-undangan baru atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni, pembaharuan sistem hukum secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang jelek atau salah dari sistem hukum tersebut agar menjadi benar dan lebih baik dalam rangka mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Dalam hal ini, Indonesia antara lain telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT)  yang dalam pertimbangan serta pengaturannya sarat dengan muatan yang memperhatikan perspektif gender. Satu hal yang tampak jelas dan tegas dalam pengaturan UU-PKDRT adalah dicantumkannya pengertian “kekerasan dalam rumah tangga”, yang dalam perumusannya juga telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimuat dalam CEDAW beserta  rekomendasinya (Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan).
Definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 UU-PKDRT sebagai berikut:
”Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Unsur-unsur yang dikandung dalam pengertian “kekerasan dalam rumah tangga/KDRT” praktis hampir sama dengan unsur-unsur dalam pengertian “kekerasan berbasis gender” dari Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993, diantaranya:  setiap perbuatan terhadap seseorang,  dan dalam hal ini ditekankan pada terutama perempuan. Unsur lain yang diindikasi ada kesamaan, yakni, mengenai bentuk kekerasan yang menimpa pada diri korban KDRT adalah adanya bentuk kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Sementara dalam pengertian kekerasan berbasis gender dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 tersebut adalah unsur-unsur berupa….tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau ancaman-ancaman seperti itu.
Ketentuan Pasal 5 UU-PKDRT juga menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a.kekerasan fisik; b.kekerasan psikis; c.kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.”    
Korelasi lain bahwa KDRT adalah merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan juga sebagai bentuk diskriminasi, adalah sebagaimana dinyatakan dalam Alinea ke-empat Penjelasan Umum UU-PKDRT, yang menegaskan: ”........Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pernyataan atas pandangan negara tersebut adalah sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya, dan amanat Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.     
            Ketentuan mengenai  definisi “diskriminasi” dalam Pasal 1 CEDAW/Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984,  dan pada Butir ke-6 Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun1993 serta Pasal 1 mengenai pengertian “kekerasan dalam rumah tangga” dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, nyata sekali bahwa hubungan satu dengan yang lain saling berkaitan, utamanya dalam menjabarkan arti diskriminasi, yang adalah termasuk juga bentuk kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender.
Hubungan diantara ketiganya semakin menegaskan bahwa cakupan diskriminasi adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ancaman-ancaman lain serupa. “Ancaman lain” yang dimaksud dalam  ketentuan Pasal 1 UU-PKDRT disebut dengan istilah “penelantaran rumah tangga”. Bahkan UU-PKDRT pun telah menegaskan dalam pengaturan normatifnya sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5 mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan: fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 6 mengenai apa yang dimaksud kekerasan fisik, Pasal 7  tentang kekerasan psikis, Pasal 8  tentang kekerasan seksual, dan Pasal 9 tentang penelantaran dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut secara tegas dilarang dan dikenai sanksi pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Hal yang lebih memperkuat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk diskriminasi adalah sebagaimana dilandaskan pada ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 18H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945, sehingga  bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender juga telah dijamin perlindungannya dalam Konstitusi Indonesia.
             
III.  IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
            Pada tahun 2008 ini memasuki hitungan tahun keempat sejak pengundangan dan pemberlakuan atas UU-PKDRT. Dalam pengaturannya, selain mengatur ikhwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban KDRT, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur yang berbeda dengan tindak penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perubahan adanya perbaikan hukum memang mulai nampak, diantaranya, keberanian melaporkan perkara KDRT oleh korban atau pihak yang mewakilinya, terbentuknya berbagai pusat pelayanan terhadap korban, baik untuk kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, kekerasan terhadap perempuan maupun kekerasan terhadap anak, dan hal ini sudah mulai terjadi di berbagai daerah. Namun demikian, masih banyaknya hambatan dalam proses penanganan perkaranya sangat dirasakan adanya.  Hal ini  dapat diindikasi, antara lain, masih kurangnya pemahaman mengenai apa yang dimaksud KDRT itu sendiri, baik dari kalangan sebagian masyarakat maupun jajaran aparat penegak hukum, sarana dan prasarana pelayanan  yang belum/kurang memadai, hingga persoalan dark number atas kasus-kasusnya yang tidak terungkap, maka hal ini menjadi sangat relevan untuk disikapi dan dipecahkan solusinya, baik terkait dengan akar permasalahan maupun hal-hal yang bersifat represif.  
Perubahan hukum merupakan masalah penting, antara lain disebabkan karena hukum itu pada dewasa ini umumnya memakai bentuk tertulis. Dengan pemakaian bentuk ini memang kepastian lebih terjamin, namun ongkos yang harus dibayarnya pun cukup mahal juga, yaitu berupa kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap perubahan di sekelilingnya. Karena tertulis itu hukum  lalu menjadi kaku. Lain halnya dengan hukum kebiasaan yang karena bentuknya lebih mudah untuk melakukan adaptasi itu. Singkatnya, pada hukum tertulis mudah tercipta  kesenjangan antara peraturan hukum dengan yang diaturnya.
Sejak diberlakukannya UU-PKDRT, semakin nampak adanya peningkatanatas  pelaporan kasus-kasus KDRT. Hal ini dapat diindikasikan adanya keberanian masyarakat dalam mengungkapkan hal yang selama ini dianggap tabu/aib, atau juga dapat ditandai sebagai munculnya kesadaran hukum dalam masyarakat akan perlindungan hak-hak asasinya serta kewajibannya sebagai warga negara, utamanya dalam turut serta menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan suatu keluarga/rumah tangga dan masyarakat disekitarnya, yang dilandasi atas penghormatan harkat dan martabat dengan sesamanya baik dalam kapasitasnya sebagai suami, isteri, maupun anak dan/atau sebagai anggota rumah tangga terkait.
 Catatan KOMNAS PEREMPUAN dalam Pelaporan Kasus KDRT Pasca UU-PKDRT menggambarkan adanya peningkatan julah kasus KDRT dari tahun ke tahun, yakni, dimulai tahun 2004 (2.425 kasus), tahun 2005 (6.029 kasus), tahun 2006(2.789 kasus), dan tahun 2007(19.253 kasus). Sehingga keseluruhan kasus KDRT sejak tahun 2004 sampai dengan 2007 adalah sebanyak 30.496 kasus. Diantara korban tersebut, terbanyak adalah isteri, yakni,  mencapai 85% (25.788 kasus )dari total korban. Anak perempuan merupakan korban ketiga terbanyak (1.693 kasus) setelah pacar (2.548 kasus) dan pembantu rumah tangga menduduki posisi keempat terbanyak (467 kasus)”.

A.  Kebijakan Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dalam suasana yang bahagia, aman, tenteram dan damai adalah dambaan setiap orang dalam suatu rumah tangga. Ungkapan ini merupakan baris pertama pada Alinea Pertama dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT). Permasalahannya, sejauh mana hal ini teraplikasikan sesuai dengan pengaturan dan implikasinya dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam masyarakat sekitar kita, hal ini perlu adanya langkah-langkah lebih lanjut baik dalam upaya pencegahan maupun upaya yang bersifat  represif melalui kebijakan-kebijakan operasionalnya.
Untuk upaya pencegahan, UU-PKDRT telah memberikan mandat kepada Menteri yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang pemberdayaan perempuan (pada saat ini Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan), untuk melakukan tindakan pencegahan. Mandat tersebut sebagaimana diatur dalam Bab V mengenai Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat pada Pasal 11 dan Pasal 12 UU-PKDRT, yang pada intinya menekankan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, yang dilakukan dengan: a) merumuskan kebijakan tentang KDRT; b)menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang KDRT; c) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang KDRT; dan d) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu-isu KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
Kebijakan-kebijakan tersebut, telah dan sedang terus dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan instansi-instasi terkait, diantaranya melakukan sosialisasi UU-PKDRT ke berbagai kalangan dan advokasi kebijakan-kebijakannya. Dalam hal ini Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan  Nomor: 01 Tahun 2006 tentang Forum Koordinasi Kerja Sama Pencegahan dan Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (PerMenegPP No.01/2006). Forum sebagimana disebut dalam PerMenegPP No.01/2006 dimaksudkan untuk melakukan koordinasi lintas bidang atau sektor dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, baik di pusat maupun di daerah. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas dalam upaya pencegahan dan penyelenggaraan kerja sama dalam rangka pemulihan korban KDRT.  Untuk hal itu, upaya-upaya tersebut bukan hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, melainkan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, yakni, lembaga sosial  yang berada di lingkungan masyarakatnya. Bahkan sangat dihimbau untuk melakukan penyebaran informasi serta pemahaman/pengertian mengenai KDRT dalam rangka mewaspadai akan munculnya KDRT dilingkungannya.
Hal ini mengingat, masyarakat juga mempunyai kewajiban-kewajiban terkait dengan KDRT, yakni, melakukan upaya-upaya sesuai dengan kemampuannya untuk: a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; b) memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan pertolongan darurat; d) membantu proses pengajuan permohaonan penetapan perlindungan (Pasal 15 UU-PKDRT) Untuk hal itu, masyarakat dapat segera melaporkan atau melakukan upaya-upaya segera sesuai dengan kemampuannya dalam hal terjadi KDRT dilingkungannya masing-masing. Pelaksanaan atas kewajiban tersebut, tentunya sangat diharapkan agar dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, dengan harapan juga akan tetap dan terus tercipta kepedulian sosial yang tinggi serta keharmonisan yang selalu terbina baik di lingkungan rumah tangga yang bersangkutan maupun lingkungan masyarakat bertetangga.
Penjabaran dalam berbagai kebijakan pelaksanaan sesuai dengan maksud dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, adalah sebagaimana telah dituangkan dalam berbagai peraturan pelaksanaan atas UU-PKDRT, baik berupa  kebijakan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, maupun desa, yang menurut Catatan Komnas Perempuan hingga Maret 2008 paling tidak telah tercatat sebanyak 18 kebijakan, sejak diundangkannya UU-PKDRT
Beberapa kebijakan di tingkat nasional, diantaranya telah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;  ditetapkannya  Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor: 01 Tahun 2006 tentang Forum Koordinasi Penyelenggaraan Kerja Sama Pencegahan dan Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan Himbauan Menteri Kesehatan Nomor 659 tahun 2007 untuk Membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit dan Pelayanan Korban di Puskesmas.
Adapun pada tingkat daerah, berbagai dukungan kebijakan teknis telah dibuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK), diantaranya, Provinsi Jawa Timur (Perda Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan), Provinsi Jawa Barat (Perda Nomor 5 Tahun 2006 tentang Perlindungan Anak, termasuk untuk memberikan kesehatan dan psikologi/konseling serta bantuan hukum), Provinsi Lampung (Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan); dan bentuk MoU antara Polda Jawa Tengah dangan Lembaga Perlindungan Anak. Provinsi Sulawesi Utara (SK Gubernur Nomor 268 Tahun 2006 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak /P2TP2A di Sulawesi Utara). Tingkat Kabupaten, diantaranya, SK Bupati Bone Nomor 504 Tahun2006  tentang Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kabupaten Bone, Kepala Kepolisian Resort Bone, Kepala Kejaksaan Negeri Bone, Ketua Pengadilan Negeri Bone dan Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bone tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Untuk tingkat desa, diantaranya, Peraturan Desa Sunda Kelapa, Bengkulu Utara Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penanganan Perempuan Korban Kekerasan.

B.  Pelaksanaan Kebijakan Penyelenggaraan Kerja Sama Penanganan Korban.
            Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai tugas dan fungsi masing-masing, dapat melakukan upaya: a) penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b) penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c) pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d) memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Untuk penyelenggaraan tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Pasal 13 dan Pasal 14 UU-PKDRT). Ketentuan-ketentuan mengenai hal ini sudah barang tentu memerlukan dukungan  sarana dan prasarana yang dapat menunjangnya, agar korban dapat tertangani secara proporsional, termasuk ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan dan kepekaan terhadap korban, misalnya, rasa simpati dan empati yang tinggi terhadap korban.
Laporan Penelitian Evaluasi Pelaksanaan UU-KDRT dengan sasaran wilayah di  5 (lima) provinsi, yakni, Provinsi: Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung, telah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2007, yang pada intinya melakukan evaluasi atas implementasi kebijakan yang telah dibuat baik oleh instansi di tingkat nasional maupun instansi yang sama di tingkat provinsi.
Secara garis besar, hasil penelitian menggambarkan tentang pelaksanaan kebijakan beberapa lembaga di daerah, yang terkait dengan penanganan pencegahan dan pemulihan korban KDRT, yakni, Daerah Provinsi: Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung, antara lain sebagaimana akan digambarkan dalam pokok-pokok uraian di bawah ini.

1.  Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11):
  1. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberdayaan perempuan, termasuk pemberdayaan untuk korban KDRT;
  2. Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi korban;
  3. Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
  4. Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap korban;
  5. Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
    1. Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau penanganan korban.

2.  Peran Instansi Daerah dan Program terkait KDRT:
a.  Biro Pemberdayaan Perempuan (Biro PP)
1)  Membuat kebijakan-kebijakan terkait PKDRT di daerah, diantaranya:
a) Sumatera Utara: SK Gubernur tentang Pembentukan P2TP2A;
b) Nusa Tenggara Barat: SK Bersama Biro PP, Biro KeSos, dan Polda mengenai Penanganan Korban KDRT;
c) Lampung : Kebijakan mengenai Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perempuan Korban Kekerasan (UPT-PKTK); 
2)  Melakukan advokasi hukum, sosialisasi, dan pelatihan sensitif gender;
3) Melakukan KIE, diantaranya melalui pengembangan model desa prima,
4) Rumah Aman, untuk menampung korban KDRT yang mengalami trauma (ditemui di Sumut, Kalbar, dan NTB).
b.  Dinas Kesehatan.
1) Adanya Kebijakan Departemen Kesehatan/Pusat, yakni,  Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar (Bagian dari Informasi Kesehatan Reproduksi);
2)  Melakukan sosialisasi pedoman Depkes-Pusat tersebut, melalui pelatihan untuk tenaga   kesehatan (Pasal 40 UU-PKDRT, kewajiban tenaga kesehatan);
3)  Wajib memeriksa korban sesuai standar profesi;
4)  Wajib melakukan pemulihan dan rehabilitasi korban;       
5)  Berwenang melakukan pembinaan terhadap Dinkes kabupaten/kota untuk membentuk pusat pelayanan terpadu di rumah sakit/Puskesmas;
6)  Adanya kebijakan provinsi mengenai pembentukan tenaga kesehatan untuk menangani korban kekerasan (SK Gubernur).
  1. Dinas Sosial.
1) Berkewajiban melakukan pemulihan psikososial, rehabilitasi, atau   pendampingan korban KDRT;
2) Di Shelter:  tersedia tenaga medis dan adanya petunjuk pelaksanaan  penanganan korban
3) Melakukan sosialisasi, KIE melalui pelatihan rutin di bidang sosial, pelatihan keterampilan kepada korban,antara lain, bidang usaha, untuk mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap pelaku. Misalnya, pada Dinas Sosial Prov. Sumatera Utara, sudah ada Buku Panduan Profesi Pekerja Sosial;
4) Dalam penanganan korban, dapat dirujuk ke rumah penampungan (shelter), hal ini tersedia di NTB, Lampung, dan Sumut. Sedangkan di Kalbar  tersedia rumah aman untuk korban, yakni, rumah sosial perlindungan anak, ruang untuk konseling. Di Sulawesi Selatan baru akan tersedia trauma center.
d.  Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Polda. 
1)      Untuk melakukan penanganan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan/anak dan KDRT;
2)      Adanya rasa nyaman/tidak menyeramkan, petugas tidak berseragam kepolisian, dipimpin oleh polisi wanita (Polwan), termasuk untuk penanganan korban juga dilakukan Polwan atau PNS perempuan;
3)      Terstruktur, di Sumatera Utara sudah terstruktur 3(tiga) tahun yang lalu, dan dampaknya positif terutama adanya motivasi yang  kuat terhadap Staf;
4)      Visi RPK: “Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan bantuan medis, psikologi, maupun hukum sampai masalah terselesaikan;
5)      Misi RPK adalah :
a)          memberikan rasa aman dan nyaman;
b)          memberikan pelayanan secara cepat, profesional, empati, dan rasa kasih;
c)          membangun jaringan kerja sama antar instansi/badal/lembaga untuk menyelesaikan masalah kekerasan  terhadap perempuan dan anak.
6)      Tugas RPK:
a)          menerima pengaduan, melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan KDRT, membuat laporan, permohonan visum jika diperlukan, dan merujuk korban ke rumah sakit;
b)          menjelaskan hak-hak korban dan merahasiakan identitasnya;
c)          memberikan konseling bagi korban yang datang dalam keadaan depresi, atau menempatkan korban ke shelter, jika perlu perlindungan.
Catatan: Belum semua Polda mempunyai shelter tersendiri, untuk itu dapt korban ditempatkan di shelter milik instansi lain atau LSM/LBH;
d)    memberikan kemudahan bagi korban KDRT yang melaporkan kasusnya  dengan tujuan selain untuk memberikan pelayanan yang nyata membantu korban juga untuk menghilangkan stigma adanya prosedur yang berbelit-belit jika berurusan dengan polisi.
Namun demikian, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena masyarakat masih menganggapnya sebagai aib keluarga dan mereka juga malu jika kasusnya diketahui oleh lingkungan sekitarnya;
e)     upaya bantuan hukum juga diberikan kepada korban dengan cara mendatangi korban;
f)    melakukan tindakan tegas bagi pelaku yang yang telah melakukan kekerasan fisik  dalam hal korban menderita cacat, dengan terus  memproses kasusnya walau korban menarik laporannya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan karena dampak yang diderita korban, dan kasus tersebut juga bukan delik aduan seingga dengan meneruskannya ke pengadilan diharapkan pelaku menjadi jera dan memberi efek pada penurunan kasus;
g) sosialisasi KDRT di lingkungan ibu-ibu bhayangkari dan masyarakat langsung bekerja sama dengan Biro PP, dengan harapan adanya pemahaman yang sama terhadap masalah KDRT dan dampak  yang dialami akibat adanya KDRT.
e.  Rumah Sakit.
1)     Fokus untuk pelayanan medis bagi korban KDRT, di samping juga    memberikan pelayanan konseling bagi korban yang memerlukannya;    
2)     Harus membentuk pusat pelayanan terpadu/PPT, pada RS.Bhayangkara di Polda   sudah terbentuk PPT, kecuali di  Kalimantan Barat yaitu di RS Pemda dan Lampung sudah memiliki kebijakan khusus untuk pembentukan PPT sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT;
3)     Pihak rumah sakit telah mengeluarkan kebijakan mengenai prosedur penanganan medis, agar korban ditangani sesuai prosedur dan standar profesi;
4)      Rumah sakit yang sudah memiliki PPT tidak memungut biaya penanganan medis termasuk visum et repertum, jika korban telah mendapat rujukan dari instansi/lembaga yang menangani;
5)      Tidak membedakan korban yang mampu atau tidak mampu, namun di Lampung terhadap korban yang mampu biasanya dirawat di RS.Swasta;
6)      RS. Bhayangkara memberikan advokasi hukum kepada korban yang membutuhkan, bekerja sama dengan LBH. Bahkan di  Sulawesi Selatan meski dengan sarana terbatas, telah memiliki rumah aman, untuk memulihkan psikis korban dan tempat perlindungan korban.
f.  Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Bantua Hukum (LSM/LBH)
1)    Lembaga yang dikunjungi adalah LBH APIK, kecuali di Lampung LSM Damar. Kasus-kasus yang ditangani sekitar kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk korban KDRT;
2)   Penanganan yang diberikan kepada korban, diantaranya dengan  pemberian penjelasan tentang hak-hak korban utnuk selalu didampingi pada setiap proses pemeriksaan dan pengadilan jika kasusnya berlanjut ke meja hijau.
3)    Merahasiakan informasi dan dentitas korban, dengan fasilitasi perlindungan di shelter jika memang dibutuhkan (misalnya, di Sumut, Kalbar, Lampung, dan NTB);
4)    Memberikan bimbingan rohani bagi korban yang dalam kondisi mental tertekan;
5)    Melakukan sosialisasi (melalui brosur, leaflet, pamflet), pelatihan untuk peningkatan staf dan relawan guna memulihkan kondisi korban;
6)    Beberapa kasus yang ditangani, diantaranya kasus penelantaran rumah tangga atas korban yang berstatus kawin siri (Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat). Kendala yang dialaminya, sulit mencari bukti berupa surat keterangan RT/RW atau pernyataan saksi yang menghadiri pernikahan, maka untuk penyelesaian kasusnya lebih  dianjurkan agar korban dan pelaku untuk berdamai (Sumatera Utara). Dalam hal kasusnya adalah kekerasan fisik, maka untuk bukti visum digunakan  pasal KUHP untuk menjerat pelaku.

3.  Pemahaman Narasumber dan Persepsi tentang Kasus KDRT.   
Berdasarkan uraian mengenai langkah-langkah yang diperankan oleh masing-masing instansi/lembaga daerah di 5 (lima) provinsi, diperoleh gambaran bahwa pemahaman para narasumber yang dimintai keterangan dan penjelasan hal-hal terkait dengan KDRT, pada umumnya mereka mengartikan bahwa segala bentuk kekerasan, termasuk  KDRT, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Dalam kenyataannya, kasus-kasus kekerasan banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap korban KDRT.  Untuk hal itu, sangat diharapkan agar semua instansi atau pihak yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penghapusan KDRT dapat  mengetahui dan memahami tentang  keberadan dan fungsi UU-PKDRT.
Umumnya, dalam kasus-kasus KDRT sasaran korban lebih sering tertuju pada diri perempuan dan anak, dan upaya perlindungan perlu segera ditangani agar tidak berlanjut mejadi kasus yang lebih parah. Dalam hal ini, keluarga dan masyarakat menjadi penting dan merupakan  kunci utama dalam upaya pelindungan korban, misalnya, untuk segera tanggap atau melaporkan kejadiannya, atau penanganan-penanganan lain sesegera mungkin. Sebagian masyarakat memahami bahwa KDRT merupakan isu publik dan sebagian lain masih berasumsi bahwa KDRT sebagai suatu masalah pribadi.

4.  Penyebab terjadinya KDRT.
            Buku Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar, yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, antara lain mengetengahkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, sesungguhnya merupakan pengaruh kombinasi dan interaksi dari faktor biologis, psikologis, ekonomi, dan politik seperti riwayat kekerasan, kemiskinan dan konflik bersenjata. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor resiko dan protektif. Kompleksnya penyebab KDRT tersebut, membuat hal ini dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, dan bukan hanya terjadi di kalangan yang lemah ekonomi atau karena rendahnya pendidikan,. Namun demikian, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar timbulnya KDRT adalah lebih banyak disebabkan karena faktor ekonomi, baik dalam kondisi ekonomi yang sudah mapan/kuat maupun ekonomi pas-pasan/lemah. Hal yang membedakan diantara keduanya bahwa  dalam hal ekonomi lemah permasalahannya lebih kepada karena keatidakcukupan penghasilan; sebaliknya dalam hal ekonomi yang sudah mapan/kuat adalah justru karena  implikasi dari kelebihan materi dan konflik terjadi, misalnya, karena pelaku telah memiliki pasangan lain atau terjadinya perselingkuhan.
            KDRT dalam bentuk kekerasan fisik lebih sering terungkap, karena mudah pembuktiannya. Sementara, dalam kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga sering tidak terungkap, termasuk juga kekerasan terhadap anak atau pembantu rumah tangga, padahal kasus ini banyak terjadi. Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa diantara kasus-kasus KDRT, yang paling banyak terjadi  adalah konflik antara suami dan isteri ketimbang kasus orang tua dan anak, majikan dan pembantu, dan bentuk kasus KDRT yang lain.
            Akibat yang harus diderita oelh korban KDRT, pada umumnya mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma, takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku, apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu, dihukum, dan/atau memilih dengan perceraian pula.
            Identifikasi atas penyebab terjadinya KDRT pada dasarnya juga dapat dijadikan sebagai landasan untuk menentukan langkah kebijakan atau dalam merancang bentuk pengelolaan program baik untuk upaya-upaya preventif dan advokasinya, langkah koordinasi serta monitoring dan evaluasi terhadap efektivitasnya serta langkah represifnya..  Pada hemat penulis bahwa kebijakan yang sifatnya akan membuat solusi bagi akar permasalahan menjadi sangat penting untuk ditempatkan sebagai  prioritas. Di sisi lain, upaya terus melakukan pengikisan terhadap pandangan-pandangan yang  patriarkhis, diskriminatif, dan subordinasi harus terus diusahakan, diantaranya melalui pelatihan-pelatihan sensitisif gender dan isu-isu kekerasan dalam rumah tangga di kalangan aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan masyarakat luas, yang perlu terus digencarkan dan ditingkatkan.

5. Kendala dalam Penanganan Korban.
a. Kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti, karena korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah tindak pidana. Demikian halnya bahwa terhadap kasus yang telah diproses pihak Kepolisian pun acapkali ditarik kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, demikian halnya bahwa KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga;
b. Beda pemahaman antar penegak hukum terhadap KDRT;
c. Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum , sehingga hasil visum menjadi  kurang mendukung terhadap proses hukum;
d. Masalah penganggaran untuk sosialisasi ke daerah yang sulit dijangkau, sehingga frekuensi tidak memadai, dan pendanaan shelter baik untuk bangunan maupun operasionalnya;
e. Bidang kesehatan, dinas kesehatan provinsi merasa kesulitan/tidak ada kekuatan perintah kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, sebagai dampak dari pemberlakuan otonomi daerah, akibatnya pembentukan PPT di RS dan Puskesmas hanya sebatas pembinaan dan saran saja;
f. Penanganan kasus KDRT belum dianggap prioritas, sehingga pembentukan PPT masih tersendat;
g. Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44-Pasal 49 UU PKDDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara. Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat ditentukan oleh peran hakim yang akan menentukan berat – ringannya putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara KDRT.Untuk hal itu sang diperlukan adanya pelatihan untuk peningkatan sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi untuk keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada perempuan dan/atau anak.

IV.  PENUTUP
            Berdasarkan pada uraian  tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam  pengaturannya sudah cukup komprehensif, yakni, mulai dari pengertian ”kekerasan dalam rumah tangga” (KDRT), dengan rumusan yang mencakup bentuk-bentuk kekerasan dalam perkara KDRT. Hal ini juga hampir identik dengan berbagai kejadian yang sering muncul mengenai bentuk-bentuk KDRT dan tertuju pada diri korban/perempuan dan anak. Di sisi lain, substansi pengaturan bahwa KDRT adalah delik biasa, hal ini masih merupakan kesulitan bagi para penegak hukm. Hal ini mengingat bahwa seringkali korban yang pada awalnya mengadukan perkara KDRT, misalnya karena dianiaya atau kekerasan fisik, maka ditengah-tengah proses hukum sedang berjalan, tiba-tiba korban menghendaki agar kasusnya dihentikan atau dicabut dengan dalih karena sudah memaafkan pelaku, atau ketergantungan korban terhadap pelaku.  
            Kasus-kasus KDRT masih didominasi pada  konflik suami-isteri dan korban lebih banyak tertuju pada diri perempuan/isteri. Adapun penyebab terjadinya KDRT lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi,  baik dalam kondisi ekonomi lemah maupun ekonomi mapan.
            Perhatian pemerintah terhadap permasalahan KDRT melalui kebijakannya sudah cukup komprehensif dan pelaksanaannya baik pada jajaran pemerintah maupun pemerintah daerah, utamanya oleh aparat yang bertanggung jawab dibidangnya sudah mulai berjalan. Namun masih diliputi oleh banyak kendala, diantaranya, terbatasnya anggaran/pendanaan, pemahaman aparat yang kurang sensitif gender termasuk dalam mengupayakan penyediaan dan perencanaan sarana dan prasarananya yang belum seluruhnya  memadai baik kuantitas maupun kualitasnya.
Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT  juga sudah mulai nampak perhatiannya, namun masih perlu ditingkatkan pemahaman dan kewaspadaannya akan akibat KDRT melalui peningkatan kepedulian sosial di lingkungan sekitarnya.
            Adanya sistem hukum yang belum bersahabat dengan perkara-perkara KDRT bukan semata karena isi undang-undangnya, namun lebih pada mindset para aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan masyarakat luas yang masih dilingkupi pandangan yang patrarkhis sehingga tindakan-tindakan diskriminatif kerapkali mewarnai pada kehidupan sehari-hari sebagai bukti adanya KDRT terjadi dalam masyarakat. Langkah untuk menuju adanya sistem hukum yang responsif gender masih butuh perjuangan keras
melalui berbagai upaya, termasuk untuk solusi pemecahan akar-akar permasalahannya.

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews