I. PENDAHULUAN
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Dalam
konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan
oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau
antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun
di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan
adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut dapat terjadi di tempat
umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita
kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Data
dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak
Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak
51,1% (pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili);
19,6%(pelaku: tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan
kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya).
Dari
gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentu kekerasan dalam rumah tangga
sangat mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian
pelaku kekerasan adalah orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan
menyusul pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.
Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa
seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan
perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan saja pada
saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan
masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu
hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak
luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk
kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,
sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRT dilaporkan kepada pihak
yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun
hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu
dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban
pun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendiriannya dalam
memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan
lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi
dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga
perlindungan hukum.
Dalam
hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami
kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum.
Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan
fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas
kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian
halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk untuk penanganan korban, karena
memang tidak/ belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan
perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun
yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau
anak.
Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan
masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga
melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis hsama
yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan
gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga,
harapan besar korban menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang
cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum
dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan
KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal
keluarga.
Namun kemudian bangsa Indonesia patut merasa bersyukur, karena akhirnya
pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), yang diharapkan dapat dijadikan
sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur
mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap
pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Dengan
demikian, hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat
tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan dapat
dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap
korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah dijamin
perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejalan
dengan langkah tersebut, maka penulisan ini dimaksudkan dalam rangka
menyampaikan sekilas gambaran mengenai pelaksanaan UU-PKDRT dan
seberapa jauh efektifitasnya. Adapun metodologi dalam penulisan ini didasarkan
pada pencermatan atas pengaturan dalam beberapa ketentuan UU-PKDRT dikaitkan
dengan hasil penelitian di lapangan.
II.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MERUPAKAN BENTUK KEKERASAN BERBASIS
GENDER.
Menengok
sejarah mengapa para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan
lahirnya UU-PKDRT. Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi
Indonesia telah secara tegas dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia
dan perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, namun kejadian-kejadian KDRT
dengan berbagai modus operandinya, sudah sangat memerlukan pengaturan yang memadai,
termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan
dalam rumah tangga.
Amanat
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam:
”Pasal
28A menentukan bahwa:”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhakmempertahankan
hidup dan kehidupannya”; Pasal 28B ayat (1) berbunyi: ”Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”; Ayat
(2) Pasal 28B menentukan bahwa: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”; dan Pasal 28G ayat(1) bahwa: ”Setiap orang bebas atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasinya”.
Terlebih
lagi bahwa Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention
on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women/ CEDAW) dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi tersebut, pada dasarnya mewajibkan
kepada setiap negara pihak untuk melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial,
ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan
sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan
laki-laki.
CEDAW
telah memberikan arti ’diskriminasi’ secara komprehensif sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 CEDAW bahwa
”Dalam
Konvensi ini istilah ”diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin
yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya bagi kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka
atas dasar persamaan hak laki-laki dan perempuan.”
Unsur-unsur
yang terkandung dalam istilah ”diskriminasi” tersebut meliputi:
- Ideologi, berupa asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan;
- Tindakan, pembedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan perempuan;
- Niat, diskriminasi langsung atau tidak langsung;
- Akibat;
- Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak dan kebebasan,
- Diskriminasi dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,) dan oleh setiap pelaku.
Unsur-unsur
yang terkandung dalam pengertian diskriminasi tersebut sangat jelas digambarkan
adanya pembedaan perlakuan berupa pengucilan atau pembatasan terhadap perempuan
(atas dasar jenis kelamin) yang mempunyai ‘pengaruh’ atau ‘tujuan’ untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan lainnya.
Dalam
perjalanannya, pengertian diskriminasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 1 CEDAW mengalami perkembangan yang cukup positif, hal mana
bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan juga menjadi cakupan dalam pengertian
diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana ditetapkan Komite CEDAW
dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 (Sidang ke-11, Tahun 1992) tentang
Kekerasan terhadap Perempuan (Violence Against Women), diantaranya
mengemukakan mengenai bentuk-bentuk diskriminasi yang menghalangi kaum
perempuan dalam mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki.
Butir 1 dari latar belakang Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 tentang
Kekerasan terhadap Perempuan, menyatakan bahwa: “Kekerasan berbasis gender
adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan
wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan
laki-laki”.
Selanjutnya,
Butir ke-6 Ulasan Umum Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993 tentang
Kekerasan terhadap Perempuan juga menegaskan bahwa :
“Konvensi
dalam Pasal 1, menetapkan definisi tentang diskriminasi terhadap perempuan. Definisi
diskriminasi itu termasuk juga kekerasan berbasis gender, yaitu
kekerasan yang langsung ditujukan kepada seorang perempuan, karena dia adalah
perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak
proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan
kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau ancaman-ancaman
seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Kekerasan berbasis
gender bisa melanggar ketentuan tertentu dari Konvensi, walaupun ketentuan itu
tidak secara spesifik tentang kekerasan”.
Sebagai
negara pihak yang telah meratifikasi CEDAW, maka dalam rangka melakukan
pembaharuan dan peninjauan hukum beserta kebijakan-kebijakan pelaksanaannya,
Indonesia terus melakukan upaya-upaya untuk pembentukan perundang-undangan baru
atau penyempurnaannya melalui “reformasi hukum, yakni, pembaharuan sistem hukum
secara mendasar dengan memperbaiki apa yang dipandang jelek atau salah dari
sistem hukum tersebut agar menjadi benar dan lebih baik dalam rangka mewujudkan
cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Dalam
hal ini, Indonesia antara lain telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) yang
dalam pertimbangan serta pengaturannya sarat dengan muatan yang memperhatikan
perspektif gender. Satu hal yang tampak jelas dan tegas dalam pengaturan
UU-PKDRT adalah dicantumkannya pengertian “kekerasan dalam rumah tangga”, yang
dalam perumusannya juga telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimuat dalam CEDAW beserta rekomendasinya (Rekomendasi Umum Nomor
19 Tahun1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan).
Definisi
kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1
UU-PKDRT sebagai berikut:
”Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Unsur-unsur
yang dikandung dalam pengertian “kekerasan dalam rumah tangga/KDRT” praktis
hampir sama dengan unsur-unsur dalam pengertian “kekerasan berbasis gender”
dari Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993, diantaranya: setiap
perbuatan terhadap seseorang, dan dalam hal ini
ditekankan pada terutama perempuan. Unsur lain yang diindikasi ada
kesamaan, yakni, mengenai bentuk kekerasan yang menimpa pada diri korban KDRT
adalah adanya bentuk kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Sementara dalam
pengertian kekerasan berbasis gender dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 tersebut
adalah unsur-unsur berupa….tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian
atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau ancaman-ancaman seperti itu.
Ketentuan
Pasal 5 UU-PKDRT juga menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya, dengan cara: a.kekerasan fisik; b.kekerasan psikis; c.kekerasan
seksual; atau penelantaran rumah tangga.”
Korelasi
lain bahwa KDRT adalah merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan juga
sebagai bentuk diskriminasi, adalah sebagaimana dinyatakan dalam Alinea
ke-empat Penjelasan Umum UU-PKDRT, yang menegaskan: ”........Negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah
tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi”. Pernyataan atas pandangan
negara tersebut adalah sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya,
dan amanat Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”.
Ketentuan mengenai definisi “diskriminasi” dalam Pasal 1 CEDAW/Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984, dan pada Butir ke-6 Rekomendasi Umum Nomor 19
Tahun1993 serta Pasal 1 mengenai pengertian “kekerasan dalam rumah tangga”
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, nyata sekali bahwa hubungan satu dengan yang lain saling
berkaitan, utamanya dalam menjabarkan arti diskriminasi, yang adalah termasuk
juga bentuk kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender.
Hubungan
diantara ketiganya semakin menegaskan bahwa cakupan diskriminasi adalah berupa
bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ancaman-ancaman lain
serupa. “Ancaman lain” yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 UU-PKDRT
disebut dengan istilah “penelantaran rumah tangga”. Bahkan UU-PKDRT pun telah
menegaskan dalam pengaturan normatifnya sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan
Pasal 5 mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan:
fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga, yang dijabarkan lebih
lanjut dalam Pasal 6 mengenai apa yang dimaksud kekerasan fisik, Pasal 7
tentang kekerasan psikis, Pasal 8 tentang kekerasan seksual, dan Pasal 9
tentang penelantaran dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut
secara tegas dilarang dan dikenai sanksi pidana, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Hal yang lebih memperkuat bahwa kekerasan
dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk diskriminasi adalah sebagaimana
dilandaskan pada ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 18H ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga
bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender juga telah dijamin
perlindungannya dalam Konstitusi Indonesia.
III.
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
Pada tahun 2008 ini memasuki
hitungan tahun keempat sejak pengundangan dan pemberlakuan atas UU-PKDRT. Dalam
pengaturannya, selain mengatur ikhwal pencegahan dan perlindungan serta
pemulihan terhadap korban KDRT, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur yang berbeda dengan tindak
penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perubahan
adanya perbaikan hukum memang mulai nampak, diantaranya, keberanian melaporkan
perkara KDRT oleh korban atau pihak yang mewakilinya, terbentuknya berbagai
pusat pelayanan terhadap korban, baik untuk kekerasan dalam rumah tangga itu
sendiri, kekerasan terhadap perempuan maupun kekerasan terhadap anak, dan hal
ini sudah mulai terjadi di berbagai daerah. Namun demikian, masih banyaknya
hambatan dalam proses penanganan perkaranya sangat dirasakan adanya. Hal
ini dapat diindikasi, antara lain, masih kurangnya pemahaman mengenai apa
yang dimaksud KDRT itu sendiri, baik dari kalangan sebagian masyarakat maupun
jajaran aparat penegak hukum, sarana dan prasarana pelayanan yang
belum/kurang memadai, hingga persoalan dark number atas kasus-kasusnya
yang tidak terungkap, maka hal ini menjadi sangat relevan untuk disikapi dan
dipecahkan solusinya, baik terkait dengan akar permasalahan maupun hal-hal yang
bersifat represif.
Perubahan
hukum merupakan masalah penting, antara lain disebabkan karena hukum itu pada
dewasa ini umumnya memakai bentuk tertulis. Dengan pemakaian bentuk ini memang
kepastian lebih terjamin, namun ongkos yang harus dibayarnya pun cukup mahal
juga, yaitu berupa kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap
perubahan di sekelilingnya. Karena tertulis itu hukum lalu menjadi kaku.
Lain halnya dengan hukum kebiasaan yang karena bentuknya lebih mudah untuk
melakukan adaptasi itu. Singkatnya, pada hukum tertulis mudah tercipta
kesenjangan antara peraturan hukum dengan yang diaturnya.
Sejak
diberlakukannya UU-PKDRT, semakin nampak adanya peningkatanatas pelaporan
kasus-kasus KDRT. Hal ini dapat diindikasikan adanya keberanian masyarakat
dalam mengungkapkan hal yang selama ini dianggap tabu/aib, atau juga dapat
ditandai sebagai munculnya kesadaran hukum dalam masyarakat akan perlindungan
hak-hak asasinya serta kewajibannya sebagai warga negara, utamanya dalam turut
serta menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan suatu keluarga/rumah
tangga dan masyarakat disekitarnya, yang dilandasi atas penghormatan harkat dan
martabat dengan sesamanya baik dalam kapasitasnya sebagai suami, isteri, maupun
anak dan/atau sebagai anggota rumah tangga terkait.
Catatan
KOMNAS PEREMPUAN dalam Pelaporan Kasus KDRT Pasca UU-PKDRT menggambarkan adanya
peningkatan julah kasus KDRT dari tahun ke tahun, yakni, dimulai tahun 2004
(2.425 kasus), tahun 2005 (6.029 kasus), tahun 2006(2.789 kasus), dan tahun
2007(19.253 kasus). Sehingga keseluruhan kasus KDRT sejak tahun 2004 sampai
dengan 2007 adalah sebanyak 30.496 kasus. Diantara korban tersebut, terbanyak
adalah isteri, yakni, mencapai 85% (25.788 kasus )dari total
korban. Anak perempuan merupakan korban ketiga terbanyak (1.693 kasus)
setelah pacar (2.548 kasus) dan pembantu rumah tangga menduduki posisi
keempat terbanyak (467 kasus)”.
A.
Kebijakan Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga dalam suasana yang bahagia, aman, tenteram dan damai
adalah dambaan setiap orang dalam suatu rumah tangga. Ungkapan ini merupakan baris pertama pada Alinea Pertama
dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT). Permasalahannya, sejauh mana hal ini
teraplikasikan sesuai dengan pengaturan dan implikasinya dalam kehidupan nyata
sehari-hari dalam masyarakat sekitar kita, hal ini perlu adanya langkah-langkah
lebih lanjut baik dalam upaya pencegahan maupun upaya yang bersifat
represif melalui kebijakan-kebijakan operasionalnya.
Untuk
upaya pencegahan, UU-PKDRT telah memberikan mandat kepada Menteri yang bertugas
dan bertanggung jawab di bidang pemberdayaan perempuan (pada saat ini Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan), untuk melakukan tindakan pencegahan. Mandat
tersebut sebagaimana diatur dalam Bab V mengenai Kewajiban Pemerintah dan
Masyarakat pada Pasal 11 dan Pasal 12 UU-PKDRT, yang pada intinya menekankan
bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, yang dilakukan
dengan: a) merumuskan kebijakan tentang KDRT; b)menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang KDRT; c) menyelenggarakan advokasi dan
sosialisasi tentang KDRT; dan d) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
sensitif gender dan isu-isu KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi
pelayanan yang sensitif gender.
Kebijakan-kebijakan
tersebut, telah dan sedang terus dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan bekerja sama dengan instansi-instasi terkait, diantaranya melakukan sosialisasi
UU-PKDRT ke berbagai kalangan dan advokasi kebijakan-kebijakannya. Dalam hal
ini Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan telah menerbitkan Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor: 01 Tahun 2006 tentang Forum
Koordinasi Kerja Sama Pencegahan dan Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga (PerMenegPP No.01/2006). Forum sebagimana disebut dalam PerMenegPP
No.01/2006 dimaksudkan untuk melakukan koordinasi lintas bidang atau sektor dan
masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, baik
di pusat maupun di daerah. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan
efektifitas dalam upaya pencegahan dan penyelenggaraan kerja sama dalam rangka
pemulihan korban KDRT. Untuk hal itu, upaya-upaya tersebut bukan hanya dapat
dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, melainkan juga dapat
dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, yakni, lembaga sosial yang berada di
lingkungan masyarakatnya. Bahkan sangat dihimbau untuk melakukan penyebaran
informasi serta pemahaman/pengertian mengenai KDRT dalam rangka mewaspadai akan
munculnya KDRT dilingkungannya.
Hal
ini mengingat, masyarakat juga mempunyai kewajiban-kewajiban terkait dengan
KDRT, yakni, melakukan upaya-upaya sesuai dengan kemampuannya untuk: a)
mencegah berlangsungnya tindak pidana; b) memberikan perlindungan kepada
korban; c) memberikan pertolongan darurat; d) membantu proses pengajuan
permohaonan penetapan perlindungan (Pasal 15 UU-PKDRT) Untuk hal itu,
masyarakat dapat segera melaporkan atau melakukan upaya-upaya segera sesuai
dengan kemampuannya dalam hal terjadi KDRT dilingkungannya masing-masing.
Pelaksanaan atas kewajiban tersebut, tentunya sangat diharapkan agar dilakukan
secara terus menerus dan berkesinambungan, dengan harapan juga akan tetap dan terus
tercipta kepedulian sosial yang tinggi serta keharmonisan yang selalu terbina
baik di lingkungan rumah tangga yang bersangkutan maupun lingkungan masyarakat
bertetangga.
Penjabaran
dalam berbagai kebijakan pelaksanaan sesuai dengan maksud dan tujuan penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, adalah sebagaimana telah dituangkan dalam
berbagai peraturan pelaksanaan atas UU-PKDRT, baik berupa kebijakan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, maupun desa, yang menurut
Catatan Komnas Perempuan hingga Maret 2008 paling tidak telah tercatat sebanyak
18 kebijakan, sejak diundangkannya UU-PKDRT
Beberapa
kebijakan di tingkat nasional, diantaranya telah disahkannya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja
Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang telah ditindaklanjuti
dengan terbitnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor: 01
Tahun 2006 tentang Forum Koordinasi Penyelenggaraan Kerja Sama Pencegahan dan
Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor Pol.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan Himbauan Menteri Kesehatan Nomor 659 tahun 2007 untuk
Membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit dan Pelayanan Korban di
Puskesmas.
Adapun
pada tingkat daerah, berbagai dukungan kebijakan teknis telah dibuat dalam
bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK), diantaranya,
Provinsi Jawa Timur (Perda Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan), Provinsi Jawa Barat (Perda
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Perlindungan Anak, termasuk untuk memberikan
kesehatan dan psikologi/konseling serta bantuan hukum), Provinsi Lampung (Perda
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan); dan bentuk MoU antara Polda Jawa Tengah dangan Lembaga Perlindungan
Anak. Provinsi Sulawesi Utara (SK Gubernur Nomor 268 Tahun 2006 tentang Pusat
Pelayanan Terpadu Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak /P2TP2A di Sulawesi
Utara). Tingkat Kabupaten, diantaranya, SK Bupati Bone Nomor 504 Tahun2006
tentang Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kabupaten Bone, Kepala
Kepolisian Resort Bone, Kepala Kejaksaan Negeri Bone, Ketua Pengadilan Negeri
Bone dan Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bone tentang Pelayanan Terpadu bagi
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Untuk tingkat desa, diantaranya, Peraturan
Desa Sunda Kelapa, Bengkulu Utara Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penanganan
Perempuan Korban Kekerasan.
B.
Pelaksanaan Kebijakan Penyelenggaraan Kerja Sama Penanganan Korban.
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai tugas dan fungsi masing-masing, dapat melakukan upaya: a)
penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b) penyediaan aparat,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c) pembuatan dan
pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan
pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d) memberikan perlindungan bagi
pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Untuk penyelenggaraan tersebut,
pemerintah dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan masyarakat atau
lembaga sosial lainnya (Pasal 13 dan Pasal 14 UU-PKDRT). Ketentuan-ketentuan
mengenai hal ini sudah barang tentu memerlukan dukungan sarana dan
prasarana yang dapat menunjangnya, agar korban dapat tertangani secara
proporsional, termasuk ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki
keterampilan dan kepekaan terhadap korban, misalnya, rasa simpati dan empati
yang tinggi terhadap korban.
Laporan
Penelitian Evaluasi Pelaksanaan UU-KDRT dengan sasaran wilayah di 5
(lima) provinsi, yakni, Provinsi: Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung, telah dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2007, yang
pada intinya melakukan evaluasi atas implementasi kebijakan yang telah dibuat
baik oleh instansi di tingkat nasional maupun instansi yang sama di tingkat
provinsi.
Secara
garis besar, hasil penelitian menggambarkan tentang pelaksanaan kebijakan
beberapa lembaga di daerah, yang terkait dengan penanganan pencegahan dan
pemulihan korban KDRT, yakni, Daerah Provinsi: Sumatera Utara, Kalimantan
Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung, antara lain
sebagaimana akan digambarkan dalam pokok-pokok uraian di bawah ini.
1.
Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11):
- Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberdayaan perempuan, termasuk pemberdayaan untuk korban KDRT;
- Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu pemulihan medis bagi korban;
- Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban;
- Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan penangan hukum terhadap korban;
- Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban;
- Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan korban dan/atau penanganan korban.
2.
Peran Instansi Daerah dan Program terkait KDRT:
a.
Biro Pemberdayaan Perempuan (Biro PP)
1)
Membuat kebijakan-kebijakan terkait PKDRT di daerah, diantaranya:
a)
Sumatera Utara: SK Gubernur tentang Pembentukan P2TP2A;
b)
Nusa Tenggara Barat: SK Bersama Biro PP, Biro KeSos, dan Polda mengenai
Penanganan Korban KDRT;
c)
Lampung : Kebijakan mengenai Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perempuan
Korban Kekerasan (UPT-PKTK);
2)
Melakukan advokasi hukum, sosialisasi, dan pelatihan sensitif gender;
3)
Melakukan KIE, diantaranya melalui pengembangan model desa prima,
4)
Rumah Aman, untuk menampung korban KDRT yang mengalami trauma (ditemui di
Sumut, Kalbar, dan NTB).
b.
Dinas Kesehatan.
1)
Adanya Kebijakan Departemen Kesehatan/Pusat, yakni, Pedoman Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar (Bagian
dari Informasi Kesehatan Reproduksi);
2)
Melakukan sosialisasi pedoman Depkes-Pusat tersebut, melalui pelatihan
untuk tenaga kesehatan (Pasal 40 UU-PKDRT, kewajiban tenaga
kesehatan);
3)
Wajib memeriksa korban sesuai standar profesi;
4)
Wajib melakukan pemulihan dan rehabilitasi
korban;
5)
Berwenang melakukan pembinaan terhadap Dinkes kabupaten/kota untuk membentuk
pusat pelayanan terpadu di rumah sakit/Puskesmas;
6)
Adanya kebijakan provinsi mengenai pembentukan tenaga kesehatan untuk menangani
korban kekerasan (SK Gubernur).
- Dinas Sosial.
1)
Berkewajiban melakukan pemulihan psikososial, rehabilitasi, atau
pendampingan korban KDRT;
2)
Di Shelter: tersedia tenaga medis dan adanya petunjuk pelaksanaan
penanganan korban
3)
Melakukan sosialisasi, KIE melalui pelatihan rutin di bidang sosial, pelatihan
keterampilan kepada korban,antara lain, bidang usaha, untuk mengurangi
ketergantungan ekonomi terhadap pelaku. Misalnya, pada Dinas Sosial Prov.
Sumatera Utara, sudah ada Buku Panduan Profesi Pekerja Sosial;
4)
Dalam penanganan korban, dapat dirujuk ke rumah penampungan (shelter), hal ini
tersedia di NTB, Lampung, dan Sumut. Sedangkan di Kalbar tersedia rumah
aman untuk korban, yakni, rumah sosial perlindungan anak, ruang untuk
konseling. Di Sulawesi Selatan baru akan tersedia trauma center.
d.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Polda.
1)
Untuk melakukan penanganan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan/anak
dan KDRT;
2)
Adanya rasa nyaman/tidak menyeramkan, petugas tidak berseragam kepolisian,
dipimpin oleh polisi wanita (Polwan), termasuk untuk penanganan korban juga
dilakukan Polwan atau PNS perempuan;
3)
Terstruktur, di Sumatera Utara sudah terstruktur 3(tiga) tahun yang lalu, dan
dampaknya positif terutama adanya motivasi yang kuat terhadap Staf;
4)
Visi RPK: “Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan
bantuan medis, psikologi, maupun hukum sampai masalah terselesaikan;
5)
Misi RPK adalah :
a)
memberikan rasa aman dan nyaman;
b)
memberikan pelayanan secara cepat, profesional, empati, dan rasa kasih;
c)
membangun jaringan kerja sama antar instansi/badal/lembaga untuk menyelesaikan
masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
6)
Tugas RPK:
a)
menerima pengaduan, melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak dan KDRT, membuat laporan, permohonan visum jika
diperlukan, dan merujuk korban ke rumah sakit;
b)
menjelaskan hak-hak korban dan merahasiakan identitasnya;
c)
memberikan konseling bagi korban yang datang dalam keadaan depresi, atau
menempatkan korban ke shelter, jika perlu perlindungan.
Catatan:
Belum semua Polda mempunyai shelter tersendiri, untuk itu dapt korban
ditempatkan di shelter milik instansi lain atau LSM/LBH;
d)
memberikan kemudahan bagi korban KDRT yang melaporkan kasusnya dengan
tujuan selain untuk memberikan pelayanan yang nyata membantu korban juga untuk
menghilangkan stigma adanya prosedur yang berbelit-belit jika berurusan dengan
polisi.
Namun
demikian, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena masyarakat masih
menganggapnya sebagai aib keluarga dan mereka juga malu jika kasusnya diketahui
oleh lingkungan sekitarnya;
e)
upaya bantuan hukum juga diberikan kepada korban dengan cara
mendatangi korban;
f)
melakukan tindakan tegas bagi pelaku yang yang telah melakukan kekerasan fisik
dalam hal korban menderita cacat, dengan terus memproses kasusnya
walau korban menarik laporannya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan karena
dampak yang diderita korban, dan kasus tersebut juga bukan delik aduan seingga
dengan meneruskannya ke pengadilan diharapkan pelaku menjadi jera dan memberi
efek pada penurunan kasus;
g)
sosialisasi KDRT di lingkungan ibu-ibu bhayangkari dan masyarakat langsung
bekerja sama dengan Biro PP, dengan harapan adanya pemahaman yang sama terhadap
masalah KDRT dan dampak yang dialami akibat adanya KDRT.
e.
Rumah Sakit.
1)
Fokus untuk pelayanan medis bagi korban KDRT, di samping juga
memberikan pelayanan konseling bagi korban yang
memerlukannya;
2)
Harus membentuk pusat pelayanan terpadu/PPT, pada RS.Bhayangkara di
Polda sudah terbentuk PPT, kecuali di Kalimantan Barat yaitu
di RS Pemda dan Lampung sudah memiliki kebijakan khusus untuk pembentukan PPT
sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT;
3)
Pihak rumah sakit telah mengeluarkan kebijakan mengenai prosedur penanganan
medis, agar korban ditangani sesuai prosedur dan standar profesi;
4)
Rumah sakit yang sudah memiliki PPT tidak memungut biaya penanganan medis
termasuk visum et repertum, jika korban telah mendapat rujukan dari
instansi/lembaga yang menangani;
5)
Tidak membedakan korban yang mampu atau tidak mampu, namun di Lampung terhadap
korban yang mampu biasanya dirawat di RS.Swasta;
6)
RS. Bhayangkara memberikan advokasi hukum kepada korban yang membutuhkan,
bekerja sama dengan LBH. Bahkan di Sulawesi Selatan meski dengan sarana
terbatas, telah memiliki rumah aman, untuk memulihkan psikis korban dan tempat
perlindungan korban.
f.
Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Bantua Hukum (LSM/LBH)
1)
Lembaga yang dikunjungi adalah LBH APIK, kecuali di Lampung LSM Damar. Kasus-kasus
yang ditangani sekitar kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk korban
KDRT;
2)
Penanganan yang diberikan kepada korban, diantaranya dengan pemberian
penjelasan tentang hak-hak korban utnuk selalu didampingi pada setiap proses
pemeriksaan dan pengadilan jika kasusnya berlanjut ke meja hijau.
3)
Merahasiakan informasi dan dentitas korban, dengan fasilitasi perlindungan di
shelter jika memang dibutuhkan (misalnya, di Sumut, Kalbar, Lampung, dan NTB);
4)
Memberikan bimbingan rohani bagi korban yang dalam kondisi mental tertekan;
5)
Melakukan sosialisasi (melalui brosur, leaflet, pamflet), pelatihan untuk
peningkatan staf dan relawan guna memulihkan kondisi korban;
6)
Beberapa kasus yang ditangani, diantaranya kasus penelantaran rumah tangga atas
korban yang berstatus kawin siri (Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat).
Kendala yang dialaminya, sulit mencari bukti berupa surat keterangan RT/RW atau
pernyataan saksi yang menghadiri pernikahan, maka untuk penyelesaian kasusnya
lebih dianjurkan agar korban dan pelaku untuk berdamai (Sumatera Utara).
Dalam hal kasusnya adalah kekerasan fisik, maka untuk bukti visum digunakan
pasal KUHP untuk menjerat pelaku.
3.
Pemahaman Narasumber dan Persepsi tentang Kasus KDRT.
Berdasarkan
uraian mengenai langkah-langkah yang diperankan oleh masing-masing
instansi/lembaga daerah di 5 (lima) provinsi, diperoleh gambaran bahwa
pemahaman para narasumber yang dimintai keterangan dan penjelasan hal-hal
terkait dengan KDRT, pada umumnya mereka mengartikan bahwa segala bentuk
kekerasan, termasuk KDRT, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus. Dalam kenyataannya, kasus-kasus kekerasan banyak terjadi, sedangkan sistem
hukum di Indonesia belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap korban
KDRT. Untuk hal itu, sangat diharapkan agar semua instansi atau pihak
yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penghapusan KDRT dapat
mengetahui dan memahami tentang keberadan dan fungsi UU-PKDRT.
Umumnya,
dalam kasus-kasus KDRT sasaran korban lebih sering tertuju pada diri perempuan
dan anak, dan upaya perlindungan perlu segera ditangani agar tidak berlanjut
mejadi kasus yang lebih parah. Dalam hal ini, keluarga dan masyarakat menjadi
penting dan merupakan kunci utama dalam upaya pelindungan korban,
misalnya, untuk segera tanggap atau melaporkan kejadiannya, atau
penanganan-penanganan lain sesegera mungkin. Sebagian masyarakat memahami bahwa
KDRT merupakan isu publik dan sebagian lain masih berasumsi bahwa KDRT sebagai
suatu masalah pribadi.
4.
Penyebab terjadinya KDRT.
Buku Pedoman Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar, yang
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, antara lain mengetengahkan bahwa
kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, sesungguhnya merupakan
pengaruh kombinasi dan interaksi dari faktor biologis, psikologis, ekonomi, dan
politik seperti riwayat kekerasan, kemiskinan dan konflik bersenjata. Selain itu
juga dipengaruhi oleh faktor resiko dan protektif. Kompleksnya penyebab KDRT
tersebut, membuat hal ini dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, dan
bukan hanya terjadi di kalangan yang lemah ekonomi atau karena rendahnya
pendidikan,. Namun demikian, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar timbulnya KDRT adalah lebih banyak disebabkan karena faktor ekonomi, baik
dalam kondisi ekonomi yang sudah mapan/kuat maupun ekonomi pas-pasan/lemah. Hal
yang membedakan diantara keduanya bahwa dalam hal ekonomi lemah
permasalahannya lebih kepada karena keatidakcukupan penghasilan; sebaliknya
dalam hal ekonomi yang sudah mapan/kuat adalah justru karena implikasi
dari kelebihan materi dan konflik terjadi, misalnya, karena pelaku telah
memiliki pasangan lain atau terjadinya perselingkuhan.
KDRT dalam bentuk kekerasan fisik lebih sering terungkap, karena mudah
pembuktiannya. Sementara, dalam kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga
sering tidak terungkap, termasuk juga kekerasan terhadap anak atau pembantu
rumah tangga, padahal kasus ini banyak terjadi. Hasil penelitian juga
menggambarkan bahwa diantara kasus-kasus KDRT, yang paling banyak terjadi
adalah konflik antara suami dan isteri ketimbang kasus orang tua dan anak,
majikan dan pembantu, dan bentuk kasus KDRT yang lain.
Akibat yang harus diderita oelh korban KDRT, pada umumnya mereka menjadi
stress, depresi, ketakutan, trauma, takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau
berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku, apabila kasusnya terungkap dan
dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu, dihukum, dan/atau memilih
dengan perceraian pula.
Identifikasi atas penyebab terjadinya KDRT pada dasarnya juga dapat dijadikan
sebagai landasan untuk menentukan langkah kebijakan atau dalam merancang bentuk
pengelolaan program baik untuk upaya-upaya preventif dan advokasinya, langkah
koordinasi serta monitoring dan evaluasi terhadap efektivitasnya serta langkah
represifnya.. Pada hemat penulis bahwa kebijakan yang sifatnya akan
membuat solusi bagi akar permasalahan menjadi sangat penting untuk ditempatkan
sebagai prioritas. Di sisi lain, upaya terus melakukan pengikisan
terhadap pandangan-pandangan yang patriarkhis, diskriminatif, dan
subordinasi harus terus diusahakan, diantaranya melalui pelatihan-pelatihan
sensitisif gender dan isu-isu kekerasan dalam rumah tangga di kalangan aparat
penegak hukum, aparat pemerintah, dan masyarakat luas, yang perlu terus
digencarkan dan ditingkatkan.
5.
Kendala dalam Penanganan Korban.
a.
Kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti, karena
korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah
tindak pidana. Demikian halnya bahwa terhadap kasus yang telah diproses pihak
Kepolisian pun acapkali ditarik kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya
karena korban merasa sudah memaafkan pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap
pelaku, demikian halnya bahwa KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga;
b.
Beda pemahaman antar penegak hukum terhadap KDRT;
c.
Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum , sehingga hasil visum
menjadi kurang mendukung terhadap proses hukum;
d.
Masalah penganggaran untuk sosialisasi ke daerah yang sulit dijangkau, sehingga
frekuensi tidak memadai, dan pendanaan shelter baik untuk bangunan maupun
operasionalnya;
e.
Bidang kesehatan, dinas kesehatan provinsi merasa kesulitan/tidak ada kekuatan
perintah kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, sebagai dampak dari
pemberlakuan otonomi daerah, akibatnya pembentukan PPT di RS dan Puskesmas
hanya sebatas pembinaan dan saran saja;
f.
Penanganan kasus KDRT belum dianggap prioritas, sehingga pembentukan PPT masih
tersendat;
g.
Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44-Pasal 49 UU
PKDDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan ekonomi mapan
cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara. Pada hemat penulis
bahwa hal ini sebetulnya akan sangat ditentukan oleh peran hakim yang akan
menentukan berat – ringannya putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara
KDRT.Untuk hal itu sang diperlukan adanya pelatihan untuk peningkatan
sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi untuk
keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada perempuan
dan/atau anak.
IV.
PENUTUP
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dalam pengaturannya sudah cukup komprehensif, yakni, mulai dari
pengertian ”kekerasan dalam rumah tangga” (KDRT), dengan rumusan yang mencakup
bentuk-bentuk kekerasan dalam perkara KDRT. Hal ini juga hampir identik dengan
berbagai kejadian yang sering muncul mengenai bentuk-bentuk KDRT dan tertuju
pada diri korban/perempuan dan anak. Di sisi lain, substansi pengaturan bahwa
KDRT adalah delik biasa, hal ini masih merupakan kesulitan bagi para penegak
hukm. Hal ini mengingat bahwa seringkali korban yang pada awalnya mengadukan perkara
KDRT, misalnya karena dianiaya atau kekerasan fisik, maka ditengah-tengah
proses hukum sedang berjalan, tiba-tiba korban menghendaki agar kasusnya
dihentikan atau dicabut dengan dalih karena sudah memaafkan pelaku, atau
ketergantungan korban terhadap pelaku.
Kasus-kasus KDRT masih didominasi pada konflik suami-isteri dan korban
lebih banyak tertuju pada diri perempuan/isteri. Adapun penyebab terjadinya
KDRT lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi, baik dalam kondisi ekonomi
lemah maupun ekonomi mapan.
Perhatian pemerintah terhadap permasalahan KDRT melalui kebijakannya sudah
cukup komprehensif dan pelaksanaannya baik pada jajaran pemerintah maupun
pemerintah daerah, utamanya oleh aparat yang bertanggung jawab dibidangnya sudah
mulai berjalan. Namun masih diliputi oleh banyak kendala, diantaranya,
terbatasnya anggaran/pendanaan, pemahaman aparat yang kurang sensitif gender
termasuk dalam mengupayakan penyediaan dan perencanaan sarana dan prasarananya
yang belum seluruhnya memadai baik kuantitas maupun kualitasnya.
Partisipasi
dan keterlibatan masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT juga sudah
mulai nampak perhatiannya, namun masih perlu ditingkatkan pemahaman dan
kewaspadaannya akan akibat KDRT melalui peningkatan kepedulian sosial di
lingkungan sekitarnya.
Adanya sistem hukum yang belum bersahabat dengan perkara-perkara KDRT bukan
semata karena isi undang-undangnya, namun lebih pada mindset para aparat
penegak hukum, aparat pemerintah, dan masyarakat luas yang masih dilingkupi
pandangan yang patrarkhis sehingga tindakan-tindakan diskriminatif kerapkali
mewarnai pada kehidupan sehari-hari sebagai bukti adanya KDRT terjadi dalam
masyarakat. Langkah untuk menuju adanya sistem hukum yang responsif gender
masih butuh perjuangan keras
melalui
berbagai upaya, termasuk untuk solusi pemecahan akar-akar permasalahannya.
0 comments:
Post a Comment