RSS

Thursday, March 15, 2012

MACAM-MACAM HUKUMAN ATAU PIDANA

BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Yuridis Hukuman
Mengenai landasan yuridis hukuman dan bentuk-bentuknya telah dijelaskan dalam buku I KUHP bab ke-2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan yaitu:
1. reglemen penjara (Stb 1917 No. 708) dan telah diubah dengan LN 1948 No. 77;
2. ordonasi pelepasan bersyarat (Stb 1917 No. 749);
3. reglemen pendidikan paksaan (Stb 1917 741);
4. UU No. 20 tahun 1946 tentang pidana tutupan.
B. Bentuk-bentuk Hukuman
Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP bab ke-2 dimulai dari pasal 10 sampai dengan pasal 43.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):

A. Pidana mati
B. Pidana penjara
C. Pidanan kurungan
D. Pidana denda
Adapun pidana tambahan terdiri dari (Bijkomende Straffen):
A. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
B. Pidana perampasan barang-barang tertentu
C. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara kedua yaitu:
• Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Panjatuhan jenis pidana bersifat keharusan berarti apabila seseorang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka seorang hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan penjatuhan tindak pidana tambahan bersifat fakultatif maksudnya adalah hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok, dan penjatuhan hukuman tambahan bersifat fakultatif, artinya hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman tambahan (hakim boleh memilih).
• Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
C. Karakter Hukuman dalam KUHP dan Hukum Pidana Indonesia serta Tata Cara Penjatuhan Hukuman
1. Pidana Mati
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan perbuatan-perbuatan kejam.
Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam KUHP sendiri telah memberikan isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah.
Isyarat yang diberikan oleh KUHP agar pidana mati tidak terlalu mudah dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam degan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Misalnya: dalam KUHP pasal 365 ayat (4), pasal 340 dan lain-lain.
Penulis Jonkers mengatakan bahwa menurut surat penjelasan atas rancangan KUHP Indonesia, ada empat golongan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:
o Kejahatan-kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara (104, 111 (2), 102 (3) jo 129);
o Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat (140 (3), 340);
o Kejahatan terhadap harta benda dan disertai unsur atau faktor yang sangat memberatkan (365 (4), 368 (2));
o Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (444)
Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945. Pasal satu aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak mati”. untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah sebagai berikut:
• Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
• Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
• Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
• Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
• Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
• Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
• Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
• Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;
• Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.
2. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (pasal 12 ayat (2)), dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam KUHP pasal 12 (3).
Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam pasal 29 KUHP.
Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam pasal 25 KUHP.
Menurut pasal 13 KUHP nara pidana penjara terbagi dalam beberapa kelas, pembagian tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu:
1) Kelas I yaitu: bagi narapidana yang dipenjara seumur hidup dan narapidana sementara yang membahayakan orang lain;
2) Kelas II yaitu:
o Bagi narapidana yang dipenjara dengan hukuman lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk kelas 1 tesebut di atas;
o Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari kelas pertama, bagi narapidana kelas 1 jika kemudian ternyata berkelakuan baik maka ia dapat dinaikkan ke kelas 2;
o Bagi narapidana yang dipidana sementara yang karena alasan-alasan pelanggaran tertentu, ia dapat diturunkan menjadi kelas II dari kelas III;
3) Narapidana kelas III, yaitu: bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikkan dari kelas I karena telah terbukti berkelakuan baik. Menurut pasal 55 peraturan penjara, bagi narapidana yang demikian dapat diberikan pelepasan bersyarat (pasal 15), apabila ia telah menjalani 1/3 atau paling sedikit sembilan bulan dari pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
4) Kelas IV yaitu: bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tingggi lima bulan.
Dalam hukum pidana dikenal 3 sistem hukum penjara, yaitu:
o Sistem Pennsylvania (suatu negara bagian dari Amerika Serikat) yaitu sistem yang menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar;
o Sistem Auburne (suatu kota dalam negara bagian New York di Amerika Serikat), yaitu yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh bersama-sama untuk bekerja, tetapi tidak boleh berbicara;
o Sistem Irlandia, yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup secara terus menerus, kemudian dikerjakan bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya setelah tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau dimerdekakan dengan syarat.
Sedangkan untuk sistem hukuman yang diterapkan di Indonesia adalah dengan cara menggabungkan ketiganya, yaitu biasanya beberapa orang hukuman dikumpulkan dalam satu ruangan, tetapi ada juga seorang tahanan yang nakal dipisahkan sendiri dalam satu kamar.
3. Pidana Kurungan
Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun.
Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan, yaitu:
Persamaan:
o Sama berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak.
o Mangenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal minimum khusus.
o Sama-sama diwajibkan untuk bekerja
o Sama-sama bertempat di penjara
Perbedaan:
o Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (pasal 69 KUHP)
o Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun
o Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya bisa dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim.
4. Pidana Denda
Hukuman utama ke empat yang disebutkan dalam KUHP pasal 10 adalah pidana denda. Pidana denda di ancamkan pada banyak jenis pelanggaran (buku III) baik secara alternatif maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering di ancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan.
Dalam prakteknya pidana denda jarang sekali dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara jika pidana itu hanya dijadikan sebagai alternatif saja, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan.
Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang menurut pasal 30 ayat (1) adalah tiga puluh juta rupiah tujuh puluh lima sen.
Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang telah diputuskan maka konsekuensinya adalah harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, pasal 30 ayat (2)) sebagai pengganti dari pidana denda.
Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda, akan tetapi bila kemudian ia membayar denda ketika itu demi hukum ia haru dilepaskan dari kurungan penggantinya.
Sedangkan untuk batas pembayaran denda telah ditetapkan dalam KUHP pasal 27 ayat (1). Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat jangka waktu sebagai mana tersebut di atas dapat diperpanjang paling lama 1 bulan. Dan perlu diketahui dalam hal uang denda yang dibayar oleh terpidana menjadi hak milik Negara (pasal 24).
Sedangkan untuk pidana tambahan penjelasannya sebagai berikut:
1. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperbolehkan (pasal 3 BW). Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana menurut pasal 35 ayat 1 KUHP hanya dierbolehkan pada hal-hal sebagai berikut:
• Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
• Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
• Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
• Hak menjadi penasihat umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
• Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
• Hak menjalankan mata pencaharian.
Pada perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seseorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk melakukan pemecatan tersebut.
Dan perlu diketahui bahwa sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup. Ketentuan mengenai batas waktu pencabutan hak-hak tertentu terpidana lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 38.
Perlu diketahui juga bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
2. Pidana Perampasan Barang Tertentu
Hukuman tambahan kedua, menurut pasal 39 berupa perampasan barang-barang milik terhukum dan tidak diperkenankan untuk merampas semua barang milik terhukum.
Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi: a) barang yang diperoleh dengan kejahatan, b) yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dan untuk lebih jelasnya hal tersebut telah dijelaskan dalam KUHP pasal 39.
Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada pasal 250 bis, 362, 275.
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara , dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.
Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan kas negara (42).
Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu diantara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2).
3. Pidana Pengumuman Putusan Hakim
Pidana putusan hakim hanya bisa dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya: pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Seperti yang kita ketahui bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.
Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut.
Adapun maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut adalah sebagai usaha preventif untuk memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut.

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews